By : SAY Qadrie
Pengantar :
Dahulu kala, ketika pelayaran belum menemukan kompas sebagai penunjuk arah yang akurat, manusia menggunakan tanda alam, berupa bintang, pulau, perairan, jenis ikan yang hidup di perairan itu, dll.
Pada masa itu kekuatan penggerak perahu menggunakan layar, dan hembusan angin. Kemudian ditemukan mesin uap,, dan baling - baling untuk menjalankan sebuah perahu dan kapal mengarungi lautan.
Ibarat sebuah perahu besar, NKRI yang ditumpangi 275,000,000, ( baca : duaratus tujuh puluh lima juta ) jiwa manusia yang tengah berlayar menuju pulau impian : masyarakat yang adil dalam kemakmuran, dan makmur dalam keadilan, sesuai cita - cita kemerdekaan.
Dalam pelayaran bangsa ini mengalami berbagai halangan, rintangan, dihadang ombak yang besar, cuaca buruk, badai, bahkan taufan di tengah lautan. Ganas nya perompak dan bajak laut serta yang paling menyakitkan adalah : sekelompok orang dalam perahu yang mencoba melubangi perahu dari dalam, yang menyebabkan kebocoran, dan bisa mengakibatkan perahu NKRI ini karam ditengah lautan.
Mereka adalah sekelompok pengkhianat yang bekerja untuk kepentingan bangsa lain.
3 Era Nakhoda zaman
Sejak lepas jangkar, 1945 hingga hari ini, perahu NKRI mengarungi lautan zaman yang berubah - ubah. Zaman transisi Sukarno, Zaman pelayaran Suharto, dan zaman Reformasi 1998 - 2023 ini.
1. Era Nakhoda zaman Sukarno : 1945 - 1965 ( 20 tahun )
20 tahun pertama pelayaran RI di nakhodai oleh Presiden Sukarno.
Era ini dianggap masa transisi, lebih kepada pertarungan mencari bentuk, identitas dan jati diri bangsa ini. Berbagai kepentingan mencoba mendominasi dan mengaktualisasikan diri, agar eksistensi mereka diakui.
Kaum Nasionalis bertarung dengan Kaum Federalis.
Mereka yang menganggap bahwa Kesatuan tidak mungkin dicapai tanpa persatuan, dan persatuan hanya mungkin dengan saling menghargai adat istiadat, budaya, bahasa, kekuasaan atas wilayah asal mereka, yang tidak lepas dari tangan.
Para penguasa didaerah asal kerajaan Nusantara,, menganggap bentuk Federal, lebih tepat.
Sementara para kaum terpelajar yang banyak menimba ilmu di negeri Belanda dan eropa menganggap, bentuk Unitaris, Persatuan lebih pas.
Bongkar pasang kabinet pun menjadi hal yang lumrah.
Disisi lain ideologi komunis mulai bergerilya dan berupaya menemukan bentuk serta hegemoni nya di kancah politik dan pemikiran bangsa yang baru saja merdeka dari penjajahan asing selama 350 tahun itu.
Sukarno tampaknya terjepit diantara tujuan kemerdekaan dengan bentuk pemerintahannya.
Untuk mengakomodir jutaan anak bangsa yang disesatkan PKI, Sukarno terpaksa mencanangkan ideologi NASAKOM ( Nasionalis, Agamis, Komunis ) Sukarno terpaksa atau dipaksa menyimpang dari ideologi bangsa ini, : PANCASILA.
Apa boleh buat.
Akibatnya Perahu RI mulai oleng, badai politik dan perpecahan, gerakan perlawanan, ditambah rongrongan dari luar dan dalam, membuat perahu terombang ambing ditengah lautan.
Akhirnya perahu RI menabrak karang besar bernama Gerakan September 30/ Gestapu PKI,1965. Sukarno baru sadar, jika keinginannnya merangkul anak - anak bangsa yang tersesat dan disesatkan oleh ideologi komunis, menjadi bumerang, yang menikam nya dari belakang. Subandrio, DN Aidit, Nyoto, yang nota bene orang dekatnya, telah mengkhianati kepercayaan dan rasa kebapakan nya.
Sukarno di ujung tanduk dan kemudi di serahkan kepada Suharto
2. Era Nakhoda zaman Suharto : 1965 - 1997 ( 32 tahun )
Suharto yang menyadari bahwa ideologi Komunis yang diusung Partai Komunis Indonesia/PKI, tidak sesuai dan tidak cocok disandingkan dengan ideologi Pancasila, membabat habis penganut dan pengikut ideologi ini.
Semua pemimpin nya ditangkap, dan dieksekusi mati.
Anggotanya ditahan, dan ajaran ideologi Komunis dinyatakan terlarang di Negara Republik Indonesia. Dulu zaman Suharto, KTP mereka diberi kode "OT" Organisasi Terlarang. Mereka diwajibkan apel setiap bulan di Kantor Camat terdekat. Selesai apel mereka diberi pengarahan, dibantu problem nya, dibina, dan diminta untuk tetap setia kepada Pancasila.
Suharto sebagai nakhoda relatif sudah mulai menentukan arah perahu bangsa mencapai tujuannya. Zaman Suhartolah di kenal istilah GBHN : Garis Besar Haluan Negara, sebagai kompas menuju pulau harapan cita - cita kemerdekaan, : mewujudkan masyarakat yang adil dalam kemakmuran, dan makmur dalam keadilan.
Suharto juga punya tujuan yang jelas dengan REPELITA,
Rancangan Pembangunan Lima Tahun. Secara bertahap, berlanjut dan berkesinambungan. Era Suharto juga dikenal adanya gerakan ABRI MASUK DESA. AMD ini membangun infrastruktur di desa bersama masyarakat dengan gotong royong dan bahu membahu.
Kekurangan Suharto mungkin adalah , memanfaatkan celah dalam UUD 1945 tentang masa jabatan seorang Presiden. "Presiden dipilih untuk masa jabatan 5 tahun, setelahnya dapat dipilih kembali" Dipilih kembali dan dipilih kembali.
Bisa jadi Suharto mau dipilih kembali dan dipilih kembali, karena rasa tanggung jawabnya kepada bangsa dan negara yang sangat ia cintai ini. Bisa jadi juga karena ia merasa belum ada yang layak untuk menggantikan nya. Dan bisa jadi juga memang karena ia masih tetap ingin berkuasa.
Alhasil, Suharto: mungkin karena jenuh melihat beliau dilantik 7x berturut - turut, rakyat, dipelopori mahasiswa dan tokoh nasional, kemudian menuntut perubahan dan pergantian kekuasaan. Suharto lengser dan diteruskan oleh Habibi sebagai wakilnya saat itu, sampai Pemilu digelar nantinya.
Reformasi 1998 melengserkan Suharto dari kemudi nakhoda perahu RI. Era Orde Baru dinyatakan tamat pada Mei 1998.
2. Era Nakhoda zaman Reformasi: 1998 - 2023 ( 25 tahun )
Gonjang ganjing dan euphoria Reformasi 1998 menandai era baru dari pelayaran perahu Republik ini. Nakhoda perahu gonta ganti. Sayangnya tidak jelas kemana arah perahu ini menuju?
Ganti nakhoda, ganti haluan.
Ganti Presiden, Ganti kebijakan.
Mengapa ??
Karena tidak adanya haluan negara !! Karena tidak punya kompas !!
GBHN sudah tidak ada. Garis Besar Haluan Negara tidak jelas.
UUD 1945 sudah direvisi. Naskah Proklamasi sudah dilupakan. Pembukaan UUD 1945 tak lagi dihayati dan di fahami dengan benar. Tujuan kemerdekaan terbengkalai. Cita - cita kemerdekaan disimpan dalam tumpukan dokumen di pojok lemari usang yang hanya tinggal sebaris teks :" menuju masyarakat yang Adil dalam Kemakmuran, dan Makmur dalam Keadilan " Seakan berubah menjadi mimpi yang hilang ketika Kita membuka mata.
Pejabat negara dan Politisi sibuk memperkaya diri.
Para ketua Parpol, sibuk lobby - lobby jabatan.
Suara kebenaran menjadi sumbang ditelinga, jika ada yang meneriakan nya, mereka ditangkap dan di penjara. Rasa empati dibunuh, sehingga kita sebagai bangsa berubah menjadi sekawanan serigala lapar yang saling menggigit dan mencakar memperebutkan mangsa.
Nusantara yang beragam dalam persatuan, berubah menjadi permusuhan.
Yang kaya tak mau berbagi, yang miskin makin terjepit.
Kita lupa bahwa tiket naik perahu layar bernama NKRI ini adalah " Bhineka Tunggal Ika"
Pemimpin kita alih - alih menyatukan semua suku bangsa, malah mereka membelah nya dengan Kadrun dan Cebong. Bukan nya welas asih dan menyayangi semua golongan, malah berpihak kepada suatu golongan. Keadilan hanya bagi mereka yang sanggup membayarnya. Kemiskinan hanya dijadikan bahan lelucon dan tertawaan di meja makan. Makin hari makin jauh melenceng dari tujuan kemerdekaan itu sendiri.
Proyek - proyek mercusuar dibangun agar kelihatan gagah,, bukan agar bangsa ini menjadi sejahtera. Kekayaan alam dan bumi bangsa ini dijual murah, bahkan dikangkangi untuk golongan mereka saja. Simpanan kekayaan perut bumi dikeruk. Jutaan hektar lahan tadah hujan dan hutan tropis sumber oksigen, dibabat. Atas nama demi masyarakat,, demi bangsa,, sekelompok orang memperkaya diri membabi buta.
" Jika kezaliman masuk dari pintu depan, maka keadilan akan keluar dari pintu belakang".
Apa solusinya ?
1. Kembali ke UUD 1945 yang asli dengan revisi dan penyempurnaan
UUD 1945 adalah hasil pemikiran para pendiri negara dan bangsa ini. Berbeda dengan KUHP , yang saduran dari UU Belanda, UUD 1945 dirumuskan, dipikirkan, di kodifikasikan, dibakukan oleh mereka yang asli putra bangsa Nusantara yang kemudian dikenal dengan bangsa Indonesia.
Mereka adalah orang yang telah merasakan pahit nya penjajahan.
Mereka adalah orang yang keluar masuk bui zaman Belanda dan Jepang.
Mereka adalah para pejuang di medan perang, bukan hanya di medan politik.
2. Kembali ke ideologi Pancasila
Pancasila bukan hanya lima poin yang tertulis di leher perisai Garuda,, Pancasila adalah perisai bangsa yang otentik, asli, original, : digali dari nafas dan kehidupan bangsa ini sejak ribuan tahun yang lampau.
Perisai ini akan mampu menangkis setiap ancaman bangsa dan negara. Perisai ini akan menangkis ideologi, faham, pemikiran, infiltrasi bangsa lain, siapapun, yang tidak sesuai dengan Pancasila.
Siapa bilang agama Islam tidak Pancasilais? Siapa bilang Islam agama teroris ?
Sila pertama Pancasila adalah : Ketuhanan Yang Maha Esa.
Ketuhanan yang Maha Esa adalah konsep tauhid dalam agama Islam. Pancasila dan Tauhid jelas sejalan. Searah. Satu tujuan. Jika ada kelompok yang membenturkan antara Islam Vs Pancasila, jelas mereka bukan dari kalangan ummat ber agama. Karena semua agama memahami konsep Ketuhanan, kecuali tentu saja, ideologi Komunis yang mengatakan : Agama adalah candu bagi masyarakat, dan Tuhan telah Mati.
Harus difahami bahwa ideologi Marxisme, Leninisme, ( berkembang di Uni Soviet, sebelum menjadi Rusia sekarang, Jerman yang kemudian menjadi Jerman timur,) dan Maoisme, ( berkembang di Tiongkok menjelma menjadi PKC, Partai Komunis China ) : adalah ideologi komunis yang tidak meletakkan porsi agama sebagaimana seharusnya.
Mereka memusuhi semua agama, baik agama bumi maupun agama langit. Mereka memusuhi Ummat Kristen, Ummat Islam, Ummat Yahudi, Ummat Budha,, Ummat Hindu, dan Ummat beragama lainnya. Jika ada mereka yang mengaku ber agama, itu hanya sebatas kamuflase saja.
3. Kembali ke GBHN
GBHN sangat diperlukan dalam upaya mencapai tujuan kemerdekaan bangsa Indonesia.
GBHN akan berfungsi sebagai kompas negara. Tempat tujuan. Pulau harapan. Siapapun nakhoda nya, tujuannya tetap sama. Siapapun Presidennya, Ia harus mengarahkan perahu layar NKRI ini kesana, tidak boleh melenceng.
Kalau melenceng, Kita akan tersesat ditengah lautan.
4. Kembalikan fungsi DPR, DPRRI, DPD, dan MPRRI
DPR ; Harus menjalankan fungsi kontrol terhadap pemerintah daerah nya
DPRRI : Harus menjalankan fungsi kontrol terhadap pemerintah pusat, Presiden dan kabinetnya,, serta pejabat tinggi negara seperti ketua MA, KY, KPK, Kapolri, Panglima ABRI, dll : dan sebaiknya mereka dilantik oleh lembaga legislatif, bukan oleh Pemerintah.
Sehingga diharapkan bersikap netral bagi bangsa dan negara ini.
Ketika mereka merasa bertanggung jawab kepada rakyat, tentu saja mereka akan membela, melindungi, dan mengayomi rakyat. Berbeda ketika mereka merasa bertanggung jawab kepada Pemerintah seperti sekarang ini.
DPD : Sebaiknya di angkat, bukan dipilih, dari raja sultan atau kalangan keturunan raja dan sultan Nusantara di tiap daerah. Jika pun ada yang dipilih, mereka dari kalangan tokoh masyarakat setempat tiap provinsi, yang akan mendampingi para raja dan sultan Nusantara di tingkat pusat.
MPRRI : Harus dikembalikan sebagai lembaga tertinggi negara, sebagai refresentasi dari rakyat Nusantara yang bergabung dalam negara Indonesia. MPRRI harus menjadi lembaga terkuat di negara ini, sehingga Pemerintah merasa punya kewajiban menjalankan amanah MPRRI, dan tidak semena - mena.
Kedepan nya, Presiden harus dilantik oleh MPRRI.
Lembaga KPU hanya difungsikan sebagai "Panitia Penyelenggara Pemilu" saja, baik Pilpres maupun Pilkada, dan tidak harus serempak segala, akan tetapi sesuai kebutuhan setiap daerah masing - masing. Sehingga tidak akan muncul pejabat PLT, yang bisa saja tidak mewakili aspirasi rakyat daerah, akan tetapi mewakili Pemerintah yang berkuasa.
Idealnya semua ASN, ABRI, dan Polri : tidak diberikan hak pilih dalam Pemilu
Karena mereka mewakili Negara, yang bersifat konstan dan tetap. Siapapun Gubernur nya, mereka tetap bekerja dibawah arahan pemimpinnya, : Gubernur adalah Kepala Daerah setempat.
Siapapun Presiden nya, mereka tetap bekerja dibawah arahan Menteri Negara yang ditunjuk oleh sang Presiden itu. Meski Presiden bergonta ganti, toh mereka tetap mengabdi,, kepada Negara tentunya, bukan kepada pejabat sementara yang dipilih 5 tahun sekali oleh rakyat.