Rabu, 22 Februari 2023

Opini > 10 tuntutan Manifesto Politik Forum Tanah Air ( MP- FTA ).

 10 tuntutan Manifesto Politik Forum Tanah Air ( MP- FTA ). 

Oleh: Chris Komari

Activist Democracy

Activist Forum Tanah Air (FTA)





10 tuntutan Manifesto Politik Forum Tanah Air ( MP- FTA ). 


1). RECALL ELECTION sebagai perangkat demokrasi yang disebut kontrol mekanisme bagi rakyat untuk mempertahankan kedaulatan tertinggi rakyat. 


Aktifis FTA memperkenalkan satu perangkat demokrasi untuk mempertahankan kedaulatan tertinggi rakyat dengan memberikan satu alat (satu mekanisme kontrol) untuk mengontrol para wakil-wakil rakyat di pemerintahan dan agencies (lembaga, instusi, kantor, department, komisi, dll) yang melayaninya. 


Salah satu contoh kontrol mekanisme itu adalah melakukan pergantian antar bagi anggota DPR dan pemimpin daerah (Gubernur, Wali Kota dan Bupati) ditengah jalan dengan "recall election". 


Rakyat setempat cukup mengumpulkan tanda tangan petisi "recall election" sebanyak 5% dari DPT PEMILU terkahir dimasing-masing daerah pemilihan, yang harus tersebar diseluruh daerah pemilihan secara proporsional yang valid, legit dan bisa diverifikasi. 


"Recall election" adalah perangkat demokrasi sebagai satu alat dan satu mekanisme politik demokrasi yang harus dimiliki oleh rakyat untuk bisa mempertahankan "kedaulatan tertinggi rakyat" dengan mengontrol wakil-wakil rakyat dipemerintahan dan lembaga, institusi dan kantor-kantor pemerintahan yang diciptakanya baik lewat PEMILU atau, yang diciptakan oleh wakil-wakil rakyat dipemerintahan (proxy).


2). Mewajibkan secara hukum dengan Undang-Undang (UU) bagi APBN dan APBD untuk menghasilkan SURPLUS (Surplus-oriented), dan bukanya spending-oriented yang menghasilakn defisit setiap tahun. 


Aktifis FTA juga memperkenalkan hal baru dalam pertanggung-jawaban fiskal pejabat pemerintah pusat dan daerah terhadap uang rakyat dengan mewajibkan APBN dan APBD yang berorientasi pada surplus (SURPLUS-ORIENTED), dan bukanya SPENDING-ORIENTED yang menghasilkan defisit setiap tahun. 


Para aktifis FTA yakin bahwasanya ketika APBN dan APBD diwajibkan secara hukum dengan undang-undang (UU) dan harus menghasilkan surplus, maka para pejabat tinggi negara di Eksekutif, mulai dari Presiden, Menteri, pejabat di BUMN, Gubernur, Wali Kota dan Bupati akan mengubah mental, sikap, prilaku dan cara kerja mereka untuk menjalankan roda peerintahan secara effective, efficient, tidak lagi berlomba-lomba dan berfoya-foya menghaburkan uang rakyat diakhir tahun fiskal. 


Kebiasan pejabat negara dipemerintahan yang suka menghabiskan dan menghancurkan uang rakyat harus dihentikan dengan Undang-Undang (UU) baru.


Dan cara yang terbaik adalah dengan mewajibkan secara hukum agar APBN dan APBD menghasilkan surplus setiap tahun (surplus-oriented).


Disamping itu, para pejabat tinggi negara dipemerintah pusat dan para pemimpin daerah akan dipaksa untuk selalu berpikir mencari terobosan pengembangan ekonomi (economic develepments) dimasing-masing daerah untuk mencari tambahan penghasilan asli daerah (PAD) yang lebih tinggi untuk menghasilkan surplus dalam  APBN dan APBD mereka diakhir tahun.


Pendekatan baru pertanggung-jawaban fiskal (fiscal responsibility) yang diperkenalkan oleh aktifis FTA akan mengubah secara massive, secara fundamental dan sangat significant yang akan mempengaruhi dan mengubah prilaku para pejabat tinggi negara di pemerintahan pusat, para pemimpin daerah dan para wakil-wakil rakyat di pemerintahan. 


Karena mereka tidak bisa lagi berfoya-foya dan seenak sendiri menghambur-hamburkan uang rakyat yang ada dalam APBN dan APBD. 


Begitu juga dengan BUMN. 


Semua BUMN harus menghasilkan SURPLUS, bukan defisit dan banyak utang. Kalau ada BUMN yang menghasilkan defisit dan banyak utang setiap tahun, maka CEO BUMN itu harus dipecat atau BUMN itu harus dilebur. 


10 tuntutan dalam manifesto politik Forum Tanah Air (MPFTA) adalah masalah-masalah besar, kritikal dan yang sangat penting bagi kepentingan rakyat banyak, sangat urgent dan warranted untuk di adopsi dan dijalankan oleh pemerintah pusat dan pemerintah daerah, khususnya oleh para CAPRES, CALEG dan CALON PEMIMPIN DAERAH pada pemilu tahun 2024. 


Bila ada CAPRES, CALEG dan CALON PEMIMPIN DAERAH pada PEMILU 2024 dan berkoar-koar mengklaim ingin membuat perubahan demokrasi, ekonomi dan kesejahteran rakyat, tetapi tidak berani membuat perjanjian politik dan kontrak sosial secara tertulis dengan menjalankan poin-poin yang menjadi tuntutan dalam MPFTA, bisa diguarantee hanya omong kosong, bullshiting dan lip service.


10 tuntutan dalam MPFTA adalah minimal perubahan yang harus di lakukan oleh CAPRES 2024....!!!

Kami berharap kepada semua teman-teman aktifis diseluruh Indonesia untuk ikut menyebar luaskan dan mempublikasikan 10 tuntutan MPFTA agar masyarakat luas ditanah air mengetahuinya.


Kami membuka diri untuk diajak berdiskusi, berdialog dan interview oleh para Youtubers, Podcasters, Talkshow Hosts dan Reporters yang ingin membicarakan 10 tuntutan para aktifis FTA yang dituangkan dalam MPFTA.


Masa Depan Menurut Profesor  Mahfud MD



A). Latar belakang dicetuskannya MPFTA

 

Para aktifis FTA menyimpulkan fakta politik ditanah air bahwasanya mengharapkan "perubahan politik dan ekonomi" dari para pejabat tinggi negara dan dari para wakil-wakil rakyat dipemerintahan baik di lembaga Eksekutif, Legislatif dan Judikatif sudah tidak mungkin bisa diharapkan lagi.

....

 

1). Para anggota DPR sudah diikat dan dikontrol oleh kekuasaan pergantian antar waktu (P.A.W) dalam UU MD3 yang dikuasai oleh para petinggi partai politik, yang membuat anggota DPR tidak mampu mewakili kepentingan rakyat, sehingga mengharapkan perubahan politik dan ekonomi dari anggota DPR sudah tidak mungkin lagi.

 

2). Para pejabat tinggi di lembaga Eksekutif mulai dari Pesiden, para Menteri dan para pejabat di BUMN, semuanya pada sibuk memperkaya diri, melakukan konsolidasi kekuasaan dan usaha untuk kepentingan diri sendiri, kepentingan keluarga dan kelompok mereka. Kepentingan rakyat hanya menjadi ucapan dibibir dan janji politik kosong di musim PEMILU.

 

Bahkan para pejabat tinggi dipemerintah pusat dan para wakil-wakil rakyat di DPR sibuk mengeluarkan berbagai undang-undang (UU) baru seperti UU MINERBA, UU CIPTA KERJA dan UU IKN yang merugikan rakyat, khususnya rakyat daerah, buruh, petani dan hanya  menguntungkan segilinter golongan elites.

 

3). Pejabat di lembaga Judikatif, khususnya para hakim di Mahkamah Konstitusi (MK) juga sering membuat keputusan hukum yang berbau politik yang menguntungkan para pejabat tinggi negara di pemerintahan pusat, meski apa yang diputuskan oleh hakim Mahkamah Konstitusi (MK) itu adalah bagian dari kedaulatan tertinggi rakyat, seperti penolakan puluhan gugatan judicial review (JR) Presidential threshold 20% yang ada dalam pasal 222, UU No 7 tahun 2017.

Kedaulatan tertinggi ada ditangan rakyat, bukan ditangan partai politik maupun gabungan partai politik.

 

Karena itu UU PEMILU No.7 tahun 2017 secara keseluruhan adalah tidak demokratis karena isinya mengkudeta kedaulatan tertinggi rakyat.

 

Persyaratan Presidential threshold 20% yang ada di pasal 222, UU No.7 tahun 2017 jelas-jelas melanggar kedaulatan tertinggi rakyat yang dijamin oleh Konstitusi UUD 1945, pasal 1, ayat 2 (kedaulatan adalah ditangan rakyat) dan pilar demokrasi nomer #1 (sovereignty of the people).

 

Keputusan hukum para hakim di Mahkamah Konstitusi (MK) yang menolak gugatan judicial review (JR) presidential threshold 20% dengan alasan legal standing hanyalah keputusan yang mengada-ada dan berbau politik. Karena pokok dari permasalahan yang ada adalah pasal 222, UU No,7 tahun 2017 melanggar kedaulatan tertinggi rakyat.

 Dari 3 fakta politik itulah, para aktifis FTA merasa bahwa mengharapkan perubahan politik dan ekonomi dari pemerintah pusat, dari wakil-wakil rakyat dipemerintahan, baik dari pejabat Eksekutif, Legislatif dan Judikatif sudah tidak mungkin lagi.

 

Karena itu, perubahan politik dan ekonomi harus dimulai dan dipaksakan dari bawah.

 

Atas kesadaran itulah yang mencetuskan lahirnya 10 tuntutan manifesto politik Forum Tanah Air (MPFTA) seperti yang ada dibagian paling bawah dalam article ini.

.....

 

Saat ini semua anggota DPR dan DPR sudah tidak berfungsi lagi untuk bisa melindungi rakyat, menjaga keselamatan rakyat dan membela kepentingan rakyat, untuk berani mengoreksi dan menghentikan peraturan pemerintah yang memaksakan vaksinasi genetic COVID-19 yang ternyata sangat merugikan kesehatan masyarakat luas.

 

Ini adalah anomali demokrasi, ketika anggota DPR dan DPR sudah tidak bisa lagi mewakili kepentingan rakyat.

 

Karena itu, FTA memberikan solusi untuk mengubah anomali demokrasi ini.

 

Rakyat tidak akan pernah merdeka dan tidak memiliki kedaulatan tertinggi, selama rakyat tidak memiliki mekanisme kontrol (control mechanism) yang bisa dipakai untuk mempertahankan kedaulatan tertinggi rakyat, dengan mengontrol dan mengoreksi kesalahan dari wakil-wakil rakyat dipemerintahan dan lembaga yang melayaninya.

 

Rakyat harus dibekali dengan satu perangkat demokrasi berupa mekanisme kontrol (control mechanism) yang bisa dipakai oleh rakyat untuk mempertahankan kedaulatan tertinggi rakyat, dengan mengontrol wakil-wakil rakyat dipemerintahan dan lembaga yang melayaninya.

 

Salah satu mekanisme kontrol itu adalah kedaulatan rakyat untuk bisa mengganti (memecat) anggota DPR ditengah jalan lewat "RECALL ELECTION".

 

Dengan membuat anggota DPR bertanggung-jawab langsung terhadap rakyat, maka anggota DPR akan secara otomatis fokus, memperhatikan dan mewakili kepentingan rakyat.

 

Sebab bila tidak, anggota DPR itu akan menghadapi ancaman RECALL ELECTION dari konstituen (rakyat setempat).

 

https://youtu.be/cVnVrIbNSJ8


Negara demokrasi dimana saja didunia ini, yang tidak memberikan satu mekanisme kontrol bagi rakyat untuk mempertahankan kedaulatan tertinggi rakyat, dengan mengontrol wakil-wakil rakyat dipemerintahan dan lembaga yang melayaninya, maka negara itu negara yang memiliki demokrasi PALSU, SEMU, HOAX dan ABAL-ABAL.

 

Apa saja bentuk mekanisme kontrol yang diberikan oleh demokrasi kepada rakyat untuk mempertahankan kedaulatan tertinggi rakyat...???

 

Ancaman masa Depan ? 



Banyak sekali sebenarnya, diantaranya adalah sbb:

 

1). Recall election

2). Referendum

3). Ballot proposition

4). Ballot measure

5). Ballot initiative

6). Filibuster

7). Subpoena

8). Separation of power

9). Checks and balances

10). Freedom of information

......


11). Impeachment

12). Hak INTERPELASI

13). Hak ANGKET

14). Hak MENYATAKAN PENDAPAT

15). Term limits.

 

Mulai nomer #1 hingga nomer #10 belum dikenal dan belum dijalankan di Indonesia.


Dari nomer #11 hingga nomer #15 sudah ada, tetapi juga jarang sekali dilakukan di Indonesia, kecuali nomer #15.

 

Nomer #15 itupun sudah ada usaha-usaha untuk mengubahnya dengan memperpanjang masa jabatan Presiden Jokowi.

 

Mayoritas mekanisme kontrol diatas belum dijalankan, tidak dijalankan dan dimanipulasi dengan Undang-Undang (UU).

 

Kedaulatan tertinggi rakyat ditanah air banyak di KUDETA oleh partai politik dengan mengunakan perangkat UU politik, seperti UU MD3, UU Partai Politik dan UU PEMILU, yang sekaligus memberikan kekuasaan baru kepada partai politik.

 

Karena itu tidak heran bila demokrasi di Indonesia kini berubah menjadi PARTAI-KRASI, yakni pemerintahan dari partai politik, oleh kader-kader partai politik dan untuk kepentingan petinggi partai politik.


Untuk mengembalikan dan mempertahankan kedaulatan tertinggi rakyat, aktifis FTA memperkenalkan hal-hal baru dalam politik demokrasi di tanah air, agar Indonesia bisa menjadi negara yang lebih demokratis, mandiri, adil dan merdeka.

......

 

B). Demokrasi itu kedaulatan rakyat sebagai satu kesatuan (sovereignty of the people), bukan kedaulatan individu (individual sovereignty).

 

DEMOS: Rakyat (people).

KRATOS: Kekuasaan (sovereignty).

 

Jadi yang menjadi urusan dan tanggung-jawab demokrasi itu hanyalah kedaulatan rakyat, bukan kedaulatan individu.

 

Harus bisa membedakan antara:

 

Sovereignty of the people (kedaulatan rakyat).

Individual sovereignty (kedaulatan individu).

 

Siapa itu rakyat (people)?

 

Rakyat adalah satu kesatuan kelompok orang-orang dari berbagai suku, ras dan agama dalam satu kehidupan bermasyarakat dalam satu negara, yang terdiri dari orang-orang yang memeluk agama Islam, Kristen, Katholik, Yahudi, Hindu, Budha, dll.

 

Kalau ada orang menjadi koruptor, maling, kafir, LGBT, pemabuk, tukang ngibul, dll., apakah itu kesalahan dan tanggung-jawab demokrasi...???

 

Jelas tidak.

 

Itu adalah bagian dari individual sovereignty, bukan urusan dan bagian dari sovereignty of the people yang menjadi tanggung-jawab demokrasi.

 

Ada 3 hubungan manusia dalam demokrasi (man's relationship):

 

1). Hubungan antara MANUSIA dengan MANUSIA, demokrasi tidak ikut campur. Karena hal itu adalah kebebasan dan kedaulatan individu (individual sovereignty). Demokrasi hanya menjamin, melindungi dan memberikan kebebasan individu (freedom) dengan persamaan hak (equality).

 

2). Hubungan antara MANUSIA dengan TUHAN, demokrasi juga tidak ikut campur. Karena hal itu adalah kebebasan dan kedaulatan individu (individual sovereignty). Demokrasi hanya menjamin, melindungi dan memberikan kebebasan individu, termasuk kebebasan beragama (freedom of religion) dengan persamaan hak (equality).

 

3). Yang diatur dan yang menjadi urusan serta tanggung-jawab demokrasi adalah hubungan antara RAKYAT (people) sebagai satu kesatuan dengan PEMERINTAH (government).

 

Karena dalam satu kesatuan kelompok masyarakat yang disebut rakyat (people) itu terdiri dari banyak agama, banyak suku, banyak ras, banyak budaya dan banyak kepercayaan.

 

Untuk menjaga kebebasan individu (freedom) dan persamaan hak (equality) serta untuk menjaga keadilan dan rasa adil bagi semua orang dan semua agama, maka dalam demokrasi urusan agama dipisahkan dengan urusan pemerintahan, yang disebut "SECULARISM."

 

Kata "SECULAR" itu sendiri artinya 'DIPISAHKAN" (separated).

 

Apa itu SECULARISM...???

 

Secularism means no discrimination against anybody in the name of religion.

 

Secularism itu artinya tidak boleh ada diskriminasi terhadap siapapun atas nama AGAMA.

 

Jadi "SECULARISM" (pemisahan) urusan agama dan urusan pemerintahan itu dilakukan oleh demokrasi justru untuk menjaga dan menciptakan "KEADILAN" bagi semua orang dan semua agama dalam "PEMERINTAHAN" (government).

 

Bukan untuk melarang agama....!!!

 

Demokasi tidak melarang agama sama sekali, bahkan membela, menjamin, melindungi dan memberikan kebebasan beragama (freedom of religion) kepada semua orang dan semua agama secara ADIL (equal).

 

Itulah demokrasi.

 

Kebebasan beragama (freedom of religion) menjadi bagian dari pilar demokrasi nomer #5.

 

Tidak sedikit orang awam, ulama, politisi dan akademisi yang tidak bisa membedakan antara:

 

DEMOCRACY

FOREIGN POLICY

CAPITALISM

SOCIALISM

LIBERALISM

CONSERVATISM

 

Sehingga sering menyalahkan dan prejudice terhadap demokrasi dan nilai-nilai demokrasi.

 

Dari 11 pilar demokrasi tidak ada satupun pilar demokrasi yang membahas foreign policy, capitalism, socialism, liberalism dan conservatism.

 

Yang dibahas oleh demokrasi adalah "PLURALISM" dan nilai-nilai demokrasi itu sangat universal, artinya bisa diterima oleh semua orang, semua golongan dan semua bangsa, tidak peduli itu bangsa yang miskin atau bangsa yang kaya.

 Hanya karena ketidakpahaman tentang nilai-nilai demokrasi, pilar, asas dan sistem pemerintahan demokrasi yang baik dan benar, yang menjadikan banyak orang yang prejudice dan mudah menghakimi demokrasi.

....


Humor Cerdas


Kami membuka diri untuk diajak berdiskusi, berdialog dan interview oleh para Youtubers, Podcasters, Talkshow Hosts dan Reporters yang ingin membicarakan 10 tuntutan para aktifis FTA yang dituangkan dalam MPFTA.

 

Atas bantuan anda semua, kami mengucapkan terima kasih.

 

Chris Komari

Activist Democracy

Sekjen FTA

Chris.komari@yahoo.com

 

Opini > Pilih mana : Orde Baru atau Orde Reformasi ?

 Pertarungan sengit : Orde Baru  Vs, Orde Reformasi

By : Smith Alhadar :

Direktur Eksekutif Institute for Democracy Education (IDe)




    Dalam konteks pilpres 2024, hiruk-pikuk dan polarisasi politik masyarakat Indonesia hari ini berpusat pada dua tokoh antagonistik ini: Menko Kemaritiman dan Investasi Luhut Binsar Panjaitan dan mantan Gubernur DKI Jakarta Anies Rasyid Baswedan.


      Sengaja saya mengabaikan Jokowi dalam hal ini, karena yang menjadi otak rezim adalah Luhut. Ini tidak berarti Jokowi bisa cuci tangan terkait kebijakan-kebijakan Luhut yang kontroversial. Juga berbagai upaya menjegal Anies menjadi peserta pilpres.


Toh, Jokowi berperan sebagai pemberi legitimasi atas semua gagasan dan tindakan pemerintah, yang notabene dirancang Luhut. Ini terjadi karena Jokowi adalah presiden karbitan, yang diorbitkan oligarki ekonomi dan oligarki politik. Luhut-lah orang yang punya visi, yang berakibat pada ketergantungan Jokowi padanya. 

Secara alami, pihak inferior akan tunduk pada pihak superior.


       Dalam polarisasi masyarakat ini, saya juga mengabaikan peran elite politik lain, khususnya para aspiran capres, karena mereka semua hanyalah penari yang menari mengikuti gendang yang ditabuh Luhut. Dengan cerdik, Luhut memanfaatkan elite parpol yang punya masalah hukum untuk menjalankan koreografi yang diciptakannya.

 Lebih dari itu, mereka hanyalah wayang-wayang Jokowi berwajah Luhut.


Namun, wibawa Luhut ditantang Anies, satu-satunya aspiran capres yang dipandang sebagai pembangkang terhadap rancang-bangun program pembangunan pemerintah yang disusunnya. Dus, Luhut melambangkan kekuatan status quo, Anies simbol kekuatan pro-perubahan.

 Tak heran, Luhut didukung Cina, Anies disukai Barat.


Kedua tokoh datang dari generasi berbeda. 

       Luhut disusui Orde Baru, Anies dibesarkan Orde Reformasi dengan rekam jejak sebagai oposan rezim Soeharto. Pendidikan militer yang ditempuh Luhut, yang tugas pokoknya adalah membunuh lawan, membuatnya cenderung mengabaikan prosedur dan konsensus — yang prosesnya bertele-tele — dalam membuat public policy. Itu terlihat dari produk-produk hukum pemerintah yang menerabas konstitusi.


     Anies adalah sarjana ekonomi dan politik tamatan AS yang terlatih melihat setiap fenomena sosial dengan “pandangan mata burung”. Artinya, dalam membuat public policy, ia mempertimbangkan semua aspek yang relevan dengan melibatkan semua stake holders guna melahirkan kebijakan yang matang.


Perlu juga dicatat bahwa Luhut adalah pebisnis besar, sedangkan Anies adalah aktivis sosial. Ini membuat keputusan Luhut hanya berdasarkan pada pertimbangan untung-rugi. Sementara kebijakan Anies berorientasi pada kemaslahatan sosial.


     Perbedaan keduanya juga tak bisa dipisahkan dari latar sosial-budaya yang membesarkan mereka. Menimbang pandangan politik dan ekonominya, yang diimplementasikan rezim Jokowi, Luhut secara sempurna mewakili Orde Baru. Anies, yang tak jauh-jauh amat dari generasi milenial, menghadirkan paradigma baru yang dinamis.


OTT  Bagus atau Tidak ? 


Pertentangan Luhut-Anies sudah terlihat sejak awal Anies memimpin Jakarta. 

     Misalnya, dalam kasus penghentian proyek reklamasi di Teluk Jakarta. Luhut mewakili oligarki yang menghendaki proyek dilanjutkan. Sebaliknya, Anies bergeming, karena proyek ini mengancam lingkungan dan nafkah nelayan kecil. Contoh lain, beberapa kali Luhut membatalkan kebijakan Anies terkait penanggulangan epidemi covid-19.


     Dari latar belakang perbedaan sosiologis dan ideologis tersebut, tak heran kalau Luhut kurang menghargai demokrasi dan perbedaan pendapat, serta mengutamakan pertumbuhan ekonomi dengan mengorbankan semua aspek dan mekanisme tata kelola pemerintahan yang baik (good governance).


   Maka kita menyaksikan pemerintah memanjakan oligarki dengan mengabaikan hak buruh melalui UU Cipta Kerja yang keabsahannya di tolak Mahkamah Konstitusi. Rezim juga mencobloskan oposisi kedalam penjara, menjustifikasi kekerasan negara terhadap anak bangsa, dan menghalang-halangi munculnya pemimpin tandingan yang dipandang mengancam kelangsungan hidup status quo.

 Ini sama persis dengan kelakuan rezim Soeharto.


    Sebaliknya, ketika memimpin Jakarta, Anies memberi contoh tentang good governance. 

     Artinya, kemajuan ekonomi tetap bisa dicapai tanpa harus berpegang pada trilogi pembangunan Orba yang kaku: stabilitas yang ditegakkan dengan penindasan, pertumbuhan ekonomi yang mengandalkan konglomerat (trickle down effect), dan pendistribusian kue ekonomi yang tentu saja tidak merata.


Anies membuktikan bahwa pembangunan berbasis humanistik, berkeadilan, dan kolaboratif, justru akan membuahkan hasil yang berkualitas: yang kecil dapat membesar, yang besar tidak mengecil. Dan berbeda dengan Luhut, Anies menghadapi kritisisme secara arif, menciptakan stabilitas Jakarta melalui narasi persatuan yang tercipta melalui kesamaan tujuan semua warga.


   Di bawah kepemimpinannya, angka kemiskinan Jakarta turun signifikan. Pertumbuhan ekonominya termasuk yang tertinggi di antara 34 provinsi. Dan Anies mendistribusikan hasil-hasil material maupun nonmaterial pembangunan kepada semua secara merata.


      Komunitas-komunitas agama minoritas yang dulu tak memilihnya, dan awalnya meragukan kualitas kepemimpinannya, pada akhirnya bangkit mengapresiasi kebijakan-kebijakannya. Memang masih banyak yang harus dikerjakan untuk menciptakan Jakarta yang lebih baik, nyaman, dan indah. 


Tapi apa yang sudah dicapai dalam waktu relatif pendek menggambarkan keberhasilan konsep pembangunan alternatif dan model kepemimpinan baru yang ditawarkan Anies cukup berhasil. Terbukti hasil jajak pendapat lembaga-lembaga survey yang kredibel menunjukkan 83 persen warga menyatakan puas pada kinerja Pemprov DKI.


       Kembali ke konteks pilpres, terkesan kuat Luhut masih berusaha agar gagasan memperpanjang masa jabatan presiden atau Jokowi tiga periode dapat direalisasikan. Karena gagasan ini ditentang publik, kini dicurigai ia bikin skenario alternatif: menyiapkan capres yang akan meneruskan kebijakan dan program pembangunan pemerintah. Karena berpotensi menggantikan Jokowi, Anies dianggap musuh besar.


Maka, bukan tidak mungkin orkestrasi tentang Anies mengusung politik identitas, yang akan menegakkan khilafah, bersumber dari Luhut untuk menakut-nakuti rakyat. Ini sama persis dengan strategi Orba yang setiap memasuki tahun politik, isu bahaya laten PKI dan DI/TII diamplifikasi untuk mengintimidasi rakyat.


Kolaborasi 


      Pada 10 Februari lalu, sambil mengungkap harapannya agar presiden terpilih 2024 — kalau pilpres jadi diselenggarakan — melanjutkan kebijakan dan capaian yang telah ditorehkan Jokowi (baca: Luhut), Menko Marinves itu menyatakan bodoh presiden yang tidak melakukannya. 


Pernyataan ini menegaskan tiga hal.


      Pertama, ia mengklaim dirinya pintar. Toh, apa yang dipandang sebagai capaian rezim Jokowi adalah hasil dari buah pikiran dan kebijakannya. “Presiden berikut tak perlu malu meneruskan periode sebelumnya,” katanya.


Artinya, dia berasumsi presiden berikut tidak mungkin sepintar dia dan tidak mungkin pula menghasilkan kebijakan yang lebih baik daripada dia, sehingga wajar kalau mengadopsi rancangan pembangunan yang dibuatnya. Memang melihat kapasitas aspiran capres yang ada, di luar Anies, klaim Luhut ada benarnya.


     Kedua, ia mengklaim rezim Jokowi berhasil secara gilang-gemilang. Menurutnya, pemerintah telah menciptakan ekosistem yang baik. Ini merupakan “gebrakan baru” dalam sejarah Indonesia, katanya. Salah satu ekosistem yang dibangun adalah hilirisasi industri, yang ia klaim akan memberikan nilai tambah yang besar bagi perekonomian Indonesia.


         Ketiga, secara tak langsung ia menganjurkan publik untuk tidak memilih Anies, karena Anies sebagai anti-tesa Jokowi adalah orang bodoh. Tentu saja pernyataan Luhut ini gegabah dan arogan. Toh, orang bisa dengan mudah membuktikan kemunduran Indonesia di hampir semua lini kehidupan bernegara dibawah “kepemimpinan Luhut.”


     Sebut saja utang negara yang terus menggelembung, pengangguran dan kemiskinan meluas akibat banyak perusahaan manufaktur gulung tikar dan daya beli masyarakat anjlok.


     Mengenai keberhasilan hilirisasi industri sebagai salah satu ekosistem yang diklaim Luhut, anggota Komisi VII DPR mengungkapkan ketidakyakinannya atas program hilirisasi nikel dan mineral lainnya. Ekonom Faisal Basri malah mengecam kebijakan itu karena hanya memberi keuntungan pada Cina, oligarki, sementara negara tidak mendapat apa-apa.


      Indeks pembangunan manusia, korupsi, dan demokrasi anjlok. Penegakan HAM dan hukum juga memprihatinkan. Dan pembangunan infrastruktur yang massif ternyata melahirkan banyak masalah. 


       Di antaranya, pertama, 

     Pembayaran bunga utang untuk membiayai infrastruktur saja sudah mencapai hampir Rp 500 triliun setahun, yang dibayar melalui perluasan pajak hingga ke rakyat kecil dan menambah utang baru hanya untuk membayar bunganya saja.


      Kedua, 

     Banyak infrastruktur yang mangkrak atau disfungsi. 

     Ketiga, 

    Infrastruktur yang dimaksud untuk membangun konektivitas guna meningkatkan daya saing dan kinerja ekonomi bangsa tidak terbukti.


    Maka, klaim Luhut tentang program pembangunan pemerintah yang dikendalikan nya sebagai “gebrakan baru dalam sejarah bangsa” doesn’t make sense. 

Memang itu bukan gebrakan baru, karena semua itu hanyalah copy paste konsep pembangunanisme (developmentalism) Orba, yang berupa sistem ekonomi ekstraktif yang memanjakan oligarki. 

Dengan demikian, pantaskah pengganti Jokowi melanjutkan blue print pembangunan yang dirancang Luhut? --  Bodoh kalau ada yang melanjutkan nya.


Puisi Merah Putih


Sekarang mari kita tengok konsep dan paradigma pembangunan Anies yang telah ia wujudkan di Jakarta. Melalui tulisan nya yang bagus di : 

Kompas, 17 Februari, 

di bawah judul “Meluruskan Jalan, Menghadirkan Keadilan”, 


    kita dapat menangkap pesannya bahwa ia melihat ada kesalahan fundamental pemerintah dalam menjalankan pembangunan selama ini sehingga perlu diluruskan demi mewujudkan cita-cita kemerdekaan.


     Anies menegaskan,: 

   Pemerintah harus melayani kebutuhan rakyat secara adil tanpa memperhitungkan untung-rugi. Menurutnya, “Republik ini berdiri dengan janji menghadirkan keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia. Tanpa kecuali.”

Karena itu, ia memanifestasikan keadilan sosial melalui gagasan yang konkret, yang bisa meluruskan jalan bagi masa depan republik ini.


     Ia juga mendorong penguatan demokrasi melalui beberapa prinsip: 

    menjalankan amanah reformasi, menghadirkan kesetaraan hukum, mendorong masyarakat sipil yang kritis, menguatkan landasan demokrasi elektoral. Ia mengingatkan, demokrasi adalah sebuah jalan panjang yang harus kita rawat bersama.


      Salah besar jika kita memandang demokrasi sebagai sesuatu yang bisa tumbuh dan bertahan begitu saja. Jalan demokrasi bukan jalan pintas pembangunan. Demokrasi adalah ikhtiar mewujudkan manusia yang bermartabat. “Manusia yang merdeka berpikir, berpendapat, dan menentukan tindakan.”


Dari aspek pertumbuhan ekonomi, Anies mengkritik cara pandang kita — mungkin terutama cara pandang Luhut — yang hanya berhenti pada angka-angka makro, yang diibaratkan potret dua dimensi. Menunjukkan yang dipermukaan, tapi tak selalu menggambarkan kedalaman dampak yang dirasakan warga.


Karena itu, yang didorong Anies adalah pertumbuhan ekonomi yang berkualitas. 

     Bukan sekadar dilihat dari aspek makro, tapi dampaknya bisa menjangkau semuanya. Semakin merata, semakin tinggi pertumbuhannya. Tentu saja pemikiran pembangunan Anies berbeda dengan Luhut. Sebenarnya pemikiran dan kebijakan Anies inilah yang mestinya dilihat Luhut sebagai “gebrakan baru dalam sejarah Indonesia.”


Pertarungan Luhut dan Anies akan berakhir di kotak suara pada 14 Februari 2024.

 Siapakah pemenangnya, Orde Baru atau Orde Reformasi? 

 Rakyat yang menentukan. 

Melihat sambutan massif rakyat di mana pun Anies hadir menggambarkan rakyat menghendaki perubahan. Walakin, Luhut sangat powerful, yang mampu mengubah apa saja yang dia kehendaki, termasuk mengubah harapan rakyat menjadi mimpi buruk. 

Wallahu ‘alam bishshawab!


Tangsel, 19 Februari 2023