JOKOWI MUNDUR atau PILPRES CURANG
By : MN LAPONG SH
(PRESEDIUM POSKO RELAWAN RAKYAT INDONESIA)
Reaksi yang bertubi tubi dan massif dari masyakat Indonesia terhadap "Skandal MK" atas Putusan MK Nomor 90/PUU-XXI/2023 Tentang Ketentuan Tambahan Pengalaman Menjabat Dari Keterpilihan Pemilu dalam Syarat Usia Minimal Capres/Cawapres. Membuat semua orang bertanya tanya ada apa di balik Putusan MK tersebut?
Kebijakan Open Legal Policy yang selama ini konsisten dinilai Hakim MK sebagai domain DPR sebagai pembuat UU tak boleh dilanggar, itu sudah menjadi tupoksi Badan Legislatif selama tidak bertentangan dengan Konstitusi UUD 1945, akhirnya tercederai dengan Putusan MK Nomor 90/PUU-XXI/2023.
Menteri Koordinator Bidang Politik Hukum dan Keamanan (Menko Polhukam), Mahfud MD menegaskan, Mahkamah Konstitusi atau MK tidak memiliki wewenang untuk mengubah aturan terkait batas usia calon presiden (capres) dan calon wakil presiden (cawapres). Yang memiliki wewenang untuk mengubah aturan tersebut adalah DPR RI selaku lembaga legislatif.
"Kalau menyangkut open legal policy, politik hukum yang sifatnya terbuka, maka MK boleh tidak menerima. Tidak menerima dengan menolak itu sangat berbeda. Kalau menolak artinya permohonan ditolak, sedangkan tidak menerima berarti dikembalikan untuk proses di lembaga lain atau proses baru,"
Mantan Ketua MK tersebut juga menjelaskan, MK tidak bisa membatalkan sebuah aturan jika tidak melanggar konstitusi. Termasuk menyangkut aturan batas usia capres dan cawapres.
“Misalkan kalau usia (capres cawapres) itu berapa sih yang tidak melanggar konstitusi. Apakah 40 melanggar, apakah 25 melanggar, apakah 70 melanggar. Nah itu kalau tidak ada pengaturannya, bahwa konstitusi tidak melarang atau menyuruh berarti itu tidak melanggar konstitusi. Kalau mau diubah gimana, bukan MK yang mengubah, yang mengubah itu DPR, lembaga legislatif," jelasnya.
Keberatan (Sekjen) Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan (PDI-P) Hasto Kristiyanto menilai, pencalonan Wali Kota Solo Gibran Rakabuming Raka sebagai bakal calon wakil presiden (cawapres) merupakan bentuk political disobidience atau ketidaktaatan politik terhadap konstitusi.
Diketahui, putra sulung Presiden RI Joko Widodo (Jokowi) yang berusia 36 tahun itu dipilih sebagai bakal cawapres oleh Prabowo Subianto untuk bertarung dalam kontestasi Pemilihan Presiden (Pilpres) 2024.
Padahal, berdasarkan aturan yang ada, syarat usia bakal capres-cawapres minimal adalah 40 tahun. Namun, Gibran lolos setelah Mahkamah Konstitusi (MK) mengubah syarat tersebut sehingga mereka yang yang berusia di bawah 40 tahun tetapi pernah menjabat sebagai kepala daerah dapat mencalonkan diri.
Besarnya reaksi publik terhadap putusan MK yang brutal dan inkonsisten ini, juga senada disuarakan Butet Kartaredjasa, Goenawan Muhammad, Eep Syaifullah, Hamid Awaludin, Airlangga Pribadi, beserta para ahli hukum tata negara, tokoh pro demokrasi dan gerakan civil society,
Tidak heran jika dalam Skandal Putusan MK ini, puluhan pihak telah mengajukan Gugatan ke MKMK (Majelis Kehormatan Mahkamah Konstitusi) termasuk Gugatan Mantan Relawan Jokowi yang kecewa, juga telah diterima Ketua MKMK Prof Dr Jimly Asshiddiqie SH MM,
sudah sebanyak 21 Gugatan yang umumnya menggugat Anwar Usman Ketua MK telah melanggar Kode Etik Hakim MK, yang dinilai telah mengamini cawe cawe politik iparnya Jokowidodo yang membuka pintu bagi ponakannya Gibran Rakabuming Raka Jokowidodo melenggang menjadi Cawapres Prabowo Subianto.
Sebenarnya keberatan dan kritik keras publik atas istilah cawe cawe politik Presiden Jokowidodo menjelang kontestasi Pilpres 2024 seperti yang diduga sebelumnya, bahwa hal tersebut bisa menimbulkan faith accomplie of interest sang Presiden terhadap Pasangan Calon Presiden tertentu, sehingga kenetralan sang presiden sebagai negarawan menjadi buyar dan potensi kecurangan tidak bisa di hindarkan.
Viralnya video Wakil Menteri Desa, Pembangunan Desa, Pembangunan Daerah Tertinggal, dan Transmigrasi (Wamendes PDTT) Paiman Raharjo
yang diduga memimpin rapat pemenangan Gibran Rakabuming Raka pada Pemilu 2024, sekalipun dibantah kemudian sebagai rapat interen sedulur Jokowi namun sulit di pisahkan Paiman Raharjo sebagai pejabat negara untuk pemenangan Gibran yang banyak diasosiasikan sebagai langkah pemenangan pasangan Capres-cawapres PS - Gibran dengan menggunakan instrumen negara.
Berangsur angsur opini kemuakan publik dimunculkan terhadap situasi yang lahir dari cawe cawe politik Jokowi yang diduga untuk memenangkan "Putra Mahkotanya" menjadi orang nomor 2 di negeri ini, telah memporak porandakan institusi MK sebagai intitusi Hakim pengawal dan penjaga Konstitusi Negara Republik Indonesia menjadi "Mahkamah Keluarga."
Nongolnya Cawapres Gibran 'Mahkamah Keluarga' di Google Maps semakin memperparah lelucon- dagelang cawe cawe politik Jokowi 'bin' Pilpres 2024 untuk 'Putra Mahkota' tabirnya telah terbuka seantero jagad.
Warga Negara Indonesia di Australia pun tidak mau ketinggalan bereaksi dengan membuat PETISI Mendesak Megawati, Jimly Asshiddiqie, SBY dan JK agar Menghentikan Pengerusakan NKRI dari Rezim Jokowi.
Opini publik meneriakkan Jokowi mundur telah menggema kemana mana.
Kecemasan publik atas sikap Jokowi untuk menambah masa jabatannya menjadi 3 priode kembali di bongkar. Adian Napitupulu Anggota DPR dari Fraksi PDI-P dan Sekjen PDI-P Hasto Kristiyanto dengan jelas mengungkap kembali peristiwa tersebut.
Reaksi Publik mau tak mau mengaitkan bahwa bahwa pencawapresan Gibrang Rakabuming Raka Jokowidodo merupakan inovasi baru Jokowi 3 priode, setelah gagal mendapat dukungan PDI-P.
Entah ada apa kemudian Saudara Masinton Pasaribu melakukan Interupsi pada Rapat Pembukaan Masa Sidang DPR RI untuk mengajukan Hak Angket terhadap "Skandal MK"?
Apakah hal tersebut bisa ditafsirkan bahwa Senayan mulai gerah terhadap situasi hari ini?
Demo mahasiswa dan elemen elemen masyakat mulai turun ke jalan lagi.
Mahasiswa di Makassar telah mengorbankan dengan membakar BenTor (Becak Motor) sebagai Protes Terhadap Putusan MK sambil meneriakkan yel yel Jokowi Mundur!
Demo BEM SI dan elemen masyarakat yang digelar kemaren juga banyak meneriakkan yel yel Jokowi Mundur!
Mungkin beberapa hari kedepan MK akan kebanjiran tamu masyarakat yang berunjuk rasa. Eskalasi politik dipastikan (Insya Allah) bakal memanas.
POSKO RELAWAN RAKYAT INDONESIA ANTI PEMILU PILPRES CURANG & BEBAS POLITIK DINASTI KKN, pada hari Rabu 1 November 2023 dalam acara Urun Rembuk Nasional Relawan, salah satu point' Pernyataan Sikapnya dalam point' 5 menyatakan :
"Bahwa demi terciptanya pemilu yang berlangsung Jurdil, fair, aman dan damai agar Presiden dan Ketua MK legowo mundur dari jabatannya."
KLIK POLLING KITA >> : POLLING KITA :
dibuat pada : 02/11/2023 Jam 14:59 WIB
Sebagai salah satu alasan kawan kawan Aktivis dalam menyusun dan mendukung sikap ini, adalah adanya fakta atas situasi hari ini yang berkembang, jika kedua pejabat tersebut masih menjabat di posisinya maka kemungkinan besar instrumen negara akan di gunakan untuk memenangkan 'Putra Mahkota' sebagai pasangan Capres cawapres dalam kontestasi Pilpres 2024.
KPU dan BAWASLU akan sangat kesulitan untuk tidak ikutan cawe cawe memenangkan 'Putra Mahkota'. Dan itu sudah terjadi pada faktanya di lembaga institusi Judikatif MAHKAMAH KONSTITUSI, mengalami pembusukan demi Untuk seorang 'Putra Mahkota'.
Atmosfir Jokowi Mundur sebenar bukan hal baru karena sudah di usung menjadi issu Buruh melawan rezim Jokowi ketika memaksakan mengusung UU Omnibuslaw Ciptaker sejak 2019.
"Jokowi Mundur atau Pilpres Curang" hanyalah aksioma yang muncul dari sepontanitas reaksi publik terhadap situasi nyata prilaku KKN dan politik dinasti rezim Jokowi yang puncaknya dilihat oleh masyarakat Indonesia baru baru ini dalam Skandal MK, "Mahkamah Keluarga."
"Negara Keluarga Presiden Jokowi" adalah satu fakta yang tidak terbantahkan, anak, mantu dan ipar menduduki posisi pejabat negara dan bekerja sama dalam cawe cawe politik melanggengkan dinasti keluarga, Yang bisa disebut sebagai aroma KKN.
Rorotan village, 3 November 2023
Surat Terbuka Kepada Majelis Kehormatan Mahkamah Konstitusi,
Oleh Anthony Budiawan
- Managing Director PEPS
(Political Economy and Policy Studies)
Perihal Makna dan Substansi Pasal 24C UUD 1945, seperti di bawah ini pernah disampaikan pada tanggal 1 November 2023 melalui media online dan media sosial.
Setelah Majelis Kehormatan MK memutus tidak bisa membatalkan Putusan MK yang cacat hukum dan moral, saya perlu menyampaikan sekali lagi bahwa logika “final” pasal 24C ayat (1) UUD seharusnya tidak berdiri sendiri, tetapi harus dilihat dalam konteks Pasal 24C secara keseluruhan, khususnya terkait Pasal 24C ayat (5) UUD.
—- 000 —-
Surat Terbuka Kepada Majelis Kehormatan Mahkamah Konstitusi
Perihal: Makna dan Substansi Pasal 24C UUD 1945 tentang Putusan Mahkamah Konstitusi Bersifat Final - Putusan Melanggar Hukum Wajib Batal Demi Hukum.
Oleh Anthony Budiawan - Managing Director PEPS (Political Economy and Policy Studies)
Tugas Majelis Kehormatan Mahkamah Konstitusi terkait laporan dugaan pelanggaran kode etik hakim konstitusi sungguh maha berat.
Bukan karena materinya berat, tetapi karena dikejar waktu.
Salah satu dugaan pelanggaran kode etik yang dilaporkan adalah hubungan kerabat, atau benturan kepentingan, antara pihak yang berperkara, yaitu ketua hakim konstitusi Anwar Usman, yang berstatus sebagai adik ipar Presiden Jokowi, sekaligus paman dari Gibran yang patut diduga sebagai pihak yang akan menerima manfaat dari uji perkara dimaksud di atas.
Mahasiswa yang mengajukan permohonan uji materi secara jelas menyatakan kagum atas prestasi Gibran di dalam permohonannya, oleh karena itu memohon kepada Mahkamah Konstitusi agar kepala daerah juga bisa menjadi calon presiden dan wakil presiden meskipun belum cukup umur seperti diatur di dalam UU.
Berdasarkan pasal 17 ayat (5) UU kekuasaan Kehakiman No 48 Tahun 2008, ketua Mahkamah Konstitusi Anwar Usman dilarang ikut menangani perkara ini karena ada benturan kepentingan.
Kekhawatiran UU dan kekhawatiran masyarakat terbukti.
Benturan kepentingan ini menghasilkan putusan kontroversial. Mahkamah Konstitusi diduga memutus perkara melampaui wewenang yang diberikan Konstitusi (UUD).
Ketua Mahkamah Konstitusi Anwar Usman mengabaikan pasal 17 ayat (5) tersebut.
Anwar Usman diduga keras mempunyai niat tidak baik dalam menangani perkara ini, sehingga menghasilkan putusan tidak berdasarkan pertimbangan hukum secara murni dan adil. Anwar Usman mengabaikan azas iktikad baik (good faith) yang menjadi pedoman dan tuntutan dalam menjalankan hukum secara adil.
Karena itu, para pelapor dugaan pelanggaran kode etik memohon kepada Majelis Kehormatan Mahkamah Konstitusi agar menyatakan Anwar Usman bersalah melanggar pasal 17 ayat (5) UU Kekuasaan Kehakiman.
Sebagai konsekuensi, putusan hakim tersebut harus dinyatakan tidak sah, atau batal demi hukum, sesuai bunyi pasal 17 ayat (6) UU Kekuasaan Kehakiman.
Pada kesempatan konferensi pers yang digelar oleh Majelis Kehormatan Mahkamah Konstitusi (31/10), wartawan bertanya apakah Majelis Kehormatan Mahkamah Konstitusi dapat membatalkan putusan Mahkamah Konstitusi tersebut.
Ketua Majelis Kehormatan Mahkamah Konstitusi Jimly Asshiddiqie tidak menjawab secara jelas. Jimly Asshiddiqie ragu apakah mempunyai wewenang membatalkan putusan Mahkamah Konstitusi, dengan alasan pasal 24C ayat (1) UUD menyatakan putusan Mahkamah Konstitusi bersifat final.
Sedangkan hierarki UU Kekuasaan Kehakiman berada di bawah UUD sehingga tidak bisa bertentangan atau membatalkan pasal di dalam UUD.
Jimly Asshiddiqie kemudian minta kepada masyarakat untuk memberi alasan yang bisa meyakinkan Majelis Kehormatan Mahkamah Konstitusi, bahwa putusan Mahkamah Konstitusi tersebut dapat dibatalkan.
Dalam kesempatan ini, saya ingin memberi sumbang saran bahwa putusan Mahkamah Konstitusi terkait perkara ini wajib dinyatakan tidak sah, sesuai konstitusi. Artinya, tidak melanggar pasal 24C ayat (1) UUD dimaksud.
Alasan pertama, UUD dibuat berdasarkan norma dalam kondisi normal atau kondisi ideal, di mana semua pihak taat hukum, dan mematuhi semua peraturan perundangan-undangan dalam menjalankan tugas dan fungsinya masing-masing.
Tetapi, kalau satu kondisi tercipta akibat ada penyimpangan atau pelanggaran hukum, maka secara otomatis UUD tidak bisa dan tidak boleh melindungi pelanggaran hukum tersebut. Karena UUD dibuat berdasarkan azas good faith atau iktikad baik.
Artinya, dalam hal putusan Mahkamah Konstitusi diambil dalam kondisi normal dan tidak ada pelanggaran hukum, maka benar, putusan Mahkamah Konstitusi tidak bisa diganggu gugat atau dibatalkan. Final.
Tetapi, kalau putusan Mahkamah Konstitusi berdasarkan pelanggaran hukum, apalagi kalau ada tindak pidana, maka putusan tersebut menjadi cacat hukum dan tidak sah, harus batal demi hukum.
Dalam hal ini, putusan tidak sah tersebut tidak ada kaitannya dengan pasal 24C ayat (1) UUD. Putusan tidak sah tersebut harus dimaknai bukan membatalkan putusan Mahkamah Konstitusi, sehingga artinya tidak melanggar pasal 24C ayat (1) UUD.
Selain itu, putusan final Mahkamah Konstitusi di pasal 24C ayat (1) UUD tidak boleh digunakan untuk melindungi putusan Mahkamah Konstitusi yang melanggar hukum.
Majelis Kehormatan Mahkamah konstitusi bahkan harus memaknai sebaliknya. Kalau terbukti terjadi pelanggaran pasal 17 ayat (5) UU Kekuasaan Kehakiman dalam menangani perkara ini, maka putusan hakim menjadi tidak sah, dan “putusan tidak sah” tersebut bersifat final dan mengikat, sesuai pasal 24C ayat (1) UUD.
Perlu ditegaskan, secara prinsip, konstitusi tidak boleh melindungi kejahatan. Prinsip ini wajib ditaati oleh semua pihak. Oleh karena itu, Majelis Kehormatan Mahkamah Konstitusi tidak boleh membiarkan pasal 24C ayat (1) dijadikan tameng untuk melindungi kejahatan, kalau terbukti putusan Mahkamah Konstitusi tersebut berdasarkan pelanggaran kode etik dan mufakat jahat.
Bagi pihak yang secara sadar melindungi kejahatan termasuk ikut berbuat jahat.
Kedua, pasal 24C ayat (5) menyatakan: “Hakim konstitusi harus memiliki integritas dan kepribadian yang tidak tercela, adil, negarawan yang menguasai konstitusi ……”
Kalau terbukti Anwar Usman melanggar kode etik dan pasal 17 ayat (5) UU Kekuasaan Kehakiman, maka Anwar Usman melanggar pasal 24C ayat (5) UUD ini: Anwar Usman tidak mempunyai integritas, kepribadiannya tercela, tidak adil, bukan negarawan meskipun memahami konstitusi, tapi tidak menjalankan kekuasaannya sesuai konstitusi.
Selain itu, ketiga, pasal 24C ayat (6) UUD memerintahkan, agar ketentuan lainnya diatur dengan undang-undang. Pasal 24C ayat (6) berbunyi: “Pengangkatan dan pemberhentian hakim konstitusi, …. serta ketentuan lainnya …. diatur dengan undang-undang.”
UU No 48 Tahun 2009 tentang Kekuasaan Kehakiman harus dilihat sebagai perintah langsung pasal 24C ayat (6) UUD, untuk memastikan pasal 24C ayat (5) tentang hakim yang berintegritas dan adil dapat terwujud.
Dalam butir menimbang UU Kekuasaan Kehakiman No 48 Tahun 2009 disebutkan secara eksplisit, untuk mewujudkan kekuasaan hakim yang merdeka, untuk menyelenggarakan peradilan guna menegakkan hukum dan keadilan, sesuai perintah UUD, maka diperlukan UU tentang Kekuasaan Kehakiman.
Dalam butir Mengingat bahkan disebutkan lebih eksplisit lagi, bahwa UU tentang Kekuasaan Kehakiman bagian dari penjabaran UUD, antara lain Pasal 24C.
“Mengingat: Pasal 20, Pasal 21, Pasal 24, Pasal 24A, Pasal 24B, Pasal 24C dan Pasal 25 Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945;”
Dengan demikian, UU Kekuasaan Kehakiman harus dilihat sebagai wujud nyata untuk melindungi konstitusi dari potensi kejahatan, yang sekarang ternyata terbukti, dan sedang berlangsung.
Pasal 17 ayat (5) khususnya untuk melindungi konstitusi dari kejahatan hakim, sesuai kriteria pada pasal 24C ayat (5) UUD.
Dengan demikian, semoga Majelis Kehormatan Mahkamah Konstitusi dapat melihat permasalahan ini secara jernih, bahwa pelanggaran terhadap pasal 17 ayat (5) UU Kekuasaan Kehakiman pada hakekatnya adalah pelanggaran terhadap Pasal 24C ayat (5) UUD, sehingga putusan Mahkamah Konstitusi berdasarkan pelanggaran hukum atau kejahatan, wajib batal.
—- 000 —-
Sumber :
Hasil pemilu 2019 : >> Klik disini >> : Hasil Pemilu 2019