Indonesia Milik Siapa?
"SELAMAT DATANG KUMPENI VOC !"
VOC Kumpeni yang datang ke Nusantara pada sekitar abad ke 16 dulu, sangat disayangkan karena datangnya terlalu cepat, harus nya VOC datang sekarang
Kenapa begitu ?
Karena dulu Kumpeni VOC dilawan, ditentang, oleh Pribumi Nusantara, sehingga VOC harus berdarah - darah, bahkan banyak yang mati, karena dianggap mau menjajah. Kalau Kumpeni VOC datang sekarang, lebih mudah.
"Cukup bawa Uang, dengan judul Investasi, semua jalan sendiri."
Urusan mau cari lahan, gampaaang!
Bisa diatur !!!
Bisa dibuatkan payung hukum nya, aturannya, Undang - undangnya, perangkatnya, pelaksana nya bahkan pengamanan proyek nya.
Komplit satu paket, !
Kumpeni VOC tinggal duduk manis, dan datang disambut dengan karpet merah, Kumpeni VOC mau ambil Nikel di Sulawesi, mau ambil emas di Maluk Sumbawa atau Papua, mau ambil Batubara, Bauxite, Lahan Sawit di Kalimantan, atau Sumatra ? :
Kita siapkan aturannya.
Cukup dengan selembar kertas pakai kop, stempel, tanda - tangan.
Beres !
Kalau ada masyarakat yang keberatan, : "ini kan tanah negara, bukan tanah loe"! Terserah Gue mau kasih ke siapa, Emang masalah buat Loe? Kalau ada yang bilang ini lahan kami, ini sertifikat SHM kami :
"itu Palsu,! Yang asli ada tanda - tangan saya!"
Gitu aja kok repot*"
Sayang emang Kumpeni VOC datang keduluan di abad 16 Masehi,
kalau datang sekarang, , malah tambah mudah.
"Mau yang mana?"
Yang dekat Ibukota negara, lain harganya.
Yang agak jauh, beda nilainya.
Tapi jangan kuatir, Kita bisa atur Hak untuk anda 20 , 30, 80, tahun, sampai 190 tahun.
Kumpeni VOC bisa berkuasa Bukan hanya 7 turunan, bisa sampai kiamat nanti malah. Apalagi kalau Kumpeni VOC buat benteng, pasang meriam, sambil selundupkan candu, bawa prajurit, dan beli Punggawa, Demang, serta Lurah nya, ?!
Dijamin Kumpeni VOC bakal betah dan kaya raya.
"Persoalan anak cucu itu urusan nantilah !
Toh Kita sudah mati, ga liat, ga dengar, ga pedulilah bagaimana nasib mereka.
Terserah !!
Kalau Kumpeni VOC datang hari ini, mari kita ucapkan :
Selamat Datang Kumpeni VOC.
Overdome !!
Inlander !!
Indonesia Milik Konglomerat
Minggu, 07 Mei 2017, 07:39 WIB
DULU di akhir 80-an sebagai jurnalis, saya sempat bertemu dengan Dirut bank-bank pemerintah. Bahkan saat itu beberapa kali memandu diskusi terbatas perbankan, era belum ada istilah pengamat, diksi pakar belum mewabah.
Era di mana Omar Abdalla, BBD, Kukuh Basuki, BNI, Widarsa Dipradja, BDN, Kamardi Arif, BRI, begitu dicari, dilobi.
Berkawan dengan mereka, sekadar sumber. Berteman bukan untuk meminta. Tetapi agar dimudahkan mengutip keterangan untuk ditulis.
Berbeda dengan pengusaha. Dekat dengan direksi bank, jaminan bagi perolehan kredit tambun. Saya paham bagaimana Eka Tjipta Wijaya, mendapatkan kredit besar dari BRI.
Publik pun kemudian tahu setelah tak menjabat dirut BRI, Kamardi menjadi komisaris di perusahaan grup Sinar Mas, sekadar salah satu contoh. Lakon demikian hampir dijalani semua konglomerat papan atas Indonesia.
Bahkan modal awal pendirian bank swasta mereka dominan juga dari uang pinjaman bank pemerintah. Ingat kebijakan Pakto, tahun 1988. Swasta diberi kemudahan bagi pendirian bank. Perjalanan ini kemudian terjadilah praktek pelanggaran Capital Eduquacy Ratio, Legal Lending Limit. Proses pelanggaran dan ranah abu-abu dalam bisnis itu terus berlanjut hingga era KLBI, BLBI, bahkan era BPPN,
Jaman panen membeli aset BPPN dengan pola cesie, 20 persen dari nilai riil, melalui anak usaha di negara bebas pajak, perusahaan Blossom Limited, dari British Virgin Island, sekadar menulis nama. Padahal pemiliknya mereka telah di konglomeratkan bank pemerintah, negara, Indonesia.
Di hadapan para peserta Sesko TNI di Bandung, 17 November 2015 perih-hal ini - - sengaja saya tambah h-nya - - konglomerasi di Indonesia itu sudah pernah saya paparkan. Produk TVRI jadi TV publik, kemasan Undang-Undang. Simak saja mana ada TV negara yang nasibnya seterperkosa TVRI, lihat saja pesta pendapatan TV Swasta. Setelah dapat Bisnis TV, dari pendapatan iklan mereka merambah partai politik.
Beruntung dunia perbankan pemerintah, nasibnya tak sejelek TVRI. Akan tetapi bank swasta milik konglo telah membangun kepercayaan terutama di lingkup pengusaha keturunan untuk diutamakan dipilih. Dalam sikon demikian para konglomerat tambun merambah memiliki lalu mencengkeram partai politik.
Tommy Winata diduga pendiri salah satu partai.
Setelah TW, ada Jan Darmadi, bisa dilihat kemudian diangkat jadi anggota penasehat presiden, lalu ada pendana Franky, kini bendahara.
Sjamsul Nursalim yang mukim di Singapura, diduga pengemplang BLBI melalui bank BDNI-nya, punya tangan ke pendirian partai baru. Sebutlah konglomerat lain, kalau pun mereka tidak terang-terangan punya partai, publik paham bagaimana tangan mereka ke penguasa.
Bukan rahasia tangan grup Sinar mas, Lippo, ber andil memenangkan Jokowi-Ahok. Melalui indikasi dukungan uang untuk kampanye. Semua itu harus dibayar dengan kebijakan.
Kebijakan kereta cepat Jakarta- Bandung, sudah lama saya katakan untuk kepentingan pengembang. Baru saja dua hari lalu James Riady, mendeklarasikan kota baru Meikarta, terkoneksi dengan jalur kereta cepat.
Ketika Pilkada DKI Jakarta, ada janji membatalkan reklamasi pantai utara Jakarta, saya pesimis. Indonesia milik konglomerat kini. Lihatlah bagaimana tercampak nya dengan mudah Rizal Ramli dari kabinet, tengoklah keukeuhnya pembelaan pusat kekuasaan kepada Basuki Tjahaja Purnama.
Semua bisnis sah saja adanya.
Tidak ada seorang pun di Indonesia melarang orang sangat kaya.
Saya sebagai warga, misalnya, hanya mengkritisi soal penggelapan pajak tambun setiap tahun melalui pola transfer pricing. Setahun 2005 saja terindikasi sudah Rp 1.300 triliun. Tahun 2015 sudah di atas Rp 2.200 triliun setahun. Jika Pengadilan Pajak benar, kerja bisa membuktikan 30 persen maka Indonesia tak perlu berhutang APBN-nya.
Majalah Tempo pernah ungkap soal penggelapan pajak, transfer pricing PT ASIAN Agri, terbukti di Pengadilan. Kasus diakhiri, menguap.
Bandingkan dengan Australia, pada 2005 bisa menuntut laku transfer pricing Toyota US$1 miliar. Sementara untuk tahun sama perusahaan terindikasi kasus transfer pricing di Pengadilan Pajak, Toyota Motor Manufactur Indonesia, belum jelas kesudahannya.
Sekadar satu contoh.
Indikasi penggelapan pajak tambun pola transfer pricing tiap tahun itu dari sektor tambang, ekspor CPO sangat dominan. Pola nya simpel, harga jual riil di pasar bukan jadi laporan pajak.
Tetapi laporan pajak dari pembukuan pembeli dari tax heaven country.
Misalnya harga riil jual 50 dolar per ton, laporan pajak 25 dolar per ton.
Metha Dharmaputra, wartawan Tempo saat liput kasus Asian Agri, di rapat perencanaan tahunan tercantum dokumen transfer pricing bagian dari rencana pendapatan.
Grup Sinar mas besar di tambang batu bara dan ekspor CPO otomatis laku sejenis sudah lama saya duga terjadi di grup mereka. Akan tetapi setelah rezim berganti bukan penggelapan pajak tambun di beresi justru berganti ke tax amnesty.
Maka secara miris saya katakan tax amnesty sebagai saya rakyat dihisap darah hingga dikikir tulang, ditimpuk kepala pakai batu, di saat bocor ditetesi cuka. Itu rasa tax amnesty bagi saya.
Ketika ada berita Grup Sinar mas, diduga pembeli utama karangan bunga yang beredar di Jakarta, saya bertanya ini episode apalagi yang hendak dimainkan konglomerat di negeri ini?
Bukan rahasia tangan konglomerat ke mana-mana.
Beralihnya empati warga ke Ridwan Kamil, Bandung, bukan mustahil akibat jerat konglomerat. Pembangunan di Bandung, banyak juga didukung CSR pemgembang dari grup Lippo, misalnya. Dan kini Nasdem mendukung RK.
Berpilin berkelindan nya konglomerat ke media, ke partai politik, hari kini memberi framing radikal umat, menurut saya nyata.
Mengapa misalnya sikap Polri seakan berlawanan dengan warga?
Karena pimpinan mereka di atas, mengutamakan kepentingan konglomerat, beberapa pemilik, terindikasi tak nyaman, politik terjerembab pasrah ke sikon oligarki fulus mulus membaja.
Mencegah kebuntuan demikian sejatinya sudah kami lakukan ketika mendukung Jokowi 2012, 2014. Eh ternyata kebekuan itu kian mengeras, lebih membaja, sehingga ranah keadilan dirasakan pahit oleh umat Muslim khususnya, karena cap, label radikal, bahkan teroris.
Padahal satu saja tuntutan umat kini : tegakkan keadilan.
Jika laku "maling" dengan transfer pricing dominan warga diem karena kecerdasan hati mereka tinggi. Mungkin anggapan warga biarlah kalau negara diam, masih ada alam akhirat, tetapi Alquran dihina, memang himbauan akidah wajib membelanya.
Karenanya konglomerat kini sudah tambun dibesarkan negara tidak sepatutnya, juga tidak sepantasnya ngelunjak berlebih-lebih. Sebagai contoh kecil, jika Indikasi pembeli karangan bunga ke kantor Kapolri dan Kapolda adalah Sinar mas, maksudnya apalagi? Radikal riil kah umat Islam?
Mengutip Jeffrey Winters, politik di Indonesia Sultanistic Oligarchy.
Rasanya harapan mengurai kumparan baja kusut, memecah keheningan, bisa jadi utopia. Cengkeraman konglomerasi membaluti di ranah oligarki fulus-mulus.[***]
* Narliswandi Piliang
Aktivis, Wartawan, dan Penggiat Citizen Journalism Indonesia
"TNI, KEMBALILAH KEPANGKUAN IBU PERTIWI"
*"Wahai TNI tentara Kami, kembalilah Kepangkuan Ibu Pertiwi.
Kembalilah ke pelukan Kami Masyarakat dan Bangsa Mu.
Bela Kami.
Bantu Kami.
Tanyalah hati nurani Kalian wahai TNI,
Apakah Negara dan Bangsa Mu ini masih baik - baik saja?
Jangan bersekutu dengan Kezaliman dan Ketidak Adilan.
Kembalilah kepangkuan Kami
Rakyat dan Bangsa Indonesia
Yang sudah melahirkan, menyusui, dan membesarkan TNI *"
Sumber >>> Indonesia Milik Siapa?
Korupsi besar di Kompas Klik >> : Baca disini
Indonesia Milik Konglomerat ? Klik >> : Baca disini